‘Kekerasan’. Mestinya kata itu tak layak disandingkan dengan
‘perempuan’. Bahkan harus dihapus dari kamus kehidupan. Awali dari
rumah, dengan cara sederhana: menanamkan kesetaraan.
oleh Donna Ch. Asri
Tengok
kasus mahasiswi Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Annisa
Azward (20) Februari lalu. Annisa memutuskan meloncat dari angkot yang
ditumpanginya karena takut diculik dan diperkosa. Annisa akhirnya
menghembuskan napas terakhir di rumah sakit akibat luka parah di kepala
yang dideritanya.
Kasus ini seolah menegaskan betapa rasa aman
itu eksklusif, tidak semua perempuan bisa memilikinya. Perempuan (yang
selalu dikonotasikan sebagai makhluk lemah) menjadi sasaran. Menurut
catatan Komnas Perempuan, dalam 13 tahun terakhir, dari 400.939 kasus
kekerasan yang dilaporkan, 93.960 di antaranya merupakan kasus kekerasan
seksual. Artinya, setiap hari 20 perempuan menjadi korban kekerasan
seksual. Kasus-kasus tersebut terjadi di luar rumah dan di dalam rumah.
Pelakunya mulai dari orang yang tak dikenal, hingga orang terdekat.
Walaupun
ada orang-orang yang mengatakan paranoid, sebenarnya tindakan Annisa
itu bisa dimaklumi jika melihat maraknya kasus kekerasan terhadap
perempuan. Terutama yang menimpa perempuan saat naik angkutan umum.
Meski begitu, kita merasa geram kenapa peristiwa itu bisa terjadi?
Apalagi jika dilihat melalui perspektif positif, sudah bukan masanya
lagi perempuan berada pada posisi ‘terjajah’.
Tetapi pada
kenyataannya pengertian kesetaraan memang belum sepenuhnya dipahami.
Kesetaraan dianggap sebagai sesuatu yang tak pantas diajarkan di rumah.
Padahal, dengan menanamkan prinsip kesetaraan pada anak-anak, berarti
kita mengajarkan mereka untuk menghargai orang lain sebagaimana mereka
menghargai diri mereka sendiri. Harapannya, kelak tak ada lagi hubungan
superior-inferior antara laki-laki dan perempuan yang memicu tindakan
kekerasan satu sama lain.
DI MANA TEMPAT PEREMPUAN?
Kita
bisa marah dan geram mendengar pernyataan seorang calon hakim agung
yang melecehkan korban perkosaan. Tetapi pernahkah kita marah pada teman
atau kerabat (laki-laki) yang melontarkan cibiran pada seorang
perempuan karena pakaian minim yang dikenakannya? Kita mungkin tak
pernah berpikir perbuatan itu merupakan salah satu bentuk pelecehan yang
bisa mengarah pada kekerasan.
Jangankan mengabaikan cibiran
semacam itu. Pernyataan calon hakim agung saja masih ada yang membela.
Seolah-olah apa yang dikatakan itu hal sepele. Laki-laki sepertinya
dianggap lumrah melakukan ‘kenakalan’. Ini bagai menegaskan ungkapan:
boys will be boys. Sama dengan ketika orang menganggap lumrah jika
laki-laki melakukan kekerasan dengan alasan laki-laki memang dilahirkan
berpembawaan agresif. Betulkah begitu?
Menurut Bagus Takwin,
Peneliti dan Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, jika
berbicara soal kekerasan laki-laki terhadap perempuan, yang harus
dipermasalahkan adalah bagaimana masyarakat menempatkan laki-laki dan
perempuan. Dalam pandangan Bagus, laki-laki juga adalah ‘korban’ dengan
diposisikannya mereka sebagai penguasa atau penentu. Bagus menjelaskan,
laki-laki dituntut keluar rumah mencari identitas mereka dan menegaskan
dirinya sendiri.
Biasanya untuk mencapai sesuatu yang sudah
jelas. Misalnya, di masa lalu untuk berburu, atau dalam situasi
sekarang, harus bekerja untuk mendapatkan gaji. Sementara perempuan
diharuskan tinggal di rumah untuk mengurus seisi rumah. “Dengan kata
lain laki-laki dipaksa untuk terpisah dari rumah. Ini menjadi beban bagi
laki-laki, sementara dia melihat betapa nyamannya perempuan yang bisa
tinggal di rumah,” kata Bagus.
Bagus menjelaskan, secara kultural
laki-laki harus sendirian. Padahal dia juga membutuhkan teman dan
seseorang untuk menjaganya. Tetapi dia tidak mendapat dukungan sosial
yang memungkinkan keinginannya tersebut. Keharusan ini membuatnya cemas,
trauma, dan takut.
“Itu beban berat. Sampai ada laki-laki yang
tidak mampu mengekspresikan emosi dengan kata-kata. Dia hanya bisa
mengekspresikan emosi dengan kekerasan, dengan gerakan atau pukulan,”
kata Bagus. Kompensasi berupa pelampiasan rasa geram itu awalnya
ditujukan pada benda, tetapi lama kelamaan bisa pada orang lain.
“Perempuan yang dalam persepsi laki-laki hidup lebih enak, mudah menjadi sasaran,” kata Bagus.
Trauma
akibat keterpisahan dari rumah membuat laki-laki memiliki semacam
dendam, kekesalan dan kemarahan. “Kalau tidak dilepaskan baik-baik dan
ditangani khusus, itu bisa menjadi kegeraman yang akhirnya mendorong
mereka untuk berlaku agresif,” jelas Bagus.
Persepsi laki-laki
yang memandang kehidupan perempuan jauh lebih enak membuat mereka
menilai rendah terhadap perempuan. Bagi laki-laki, perempuan dianggap
tidak mengerti apa-apa. Apalagi untuk diharapkan mengerti beban pada
dirinya. Ada kecenderungan laki-laki membayangkan dirinya sebagai
korban. Sehingga, ketika dia memukul atau melakukan sesuatu terhadap
perempuan, dia menganggap akibat yang dirasakan oleh perempuan itu tidak
seberapa dibandingkan dengan beban yang ia pikul. Menurut teori Bagus,
kedua kondisi tadi bisa menjadi salah satu penyebab tindakan kekerasan
pada orang-orang tertentu.
Dari persepsi perempuan, perempuan juga sesungguhnya merasa terbebani karena tidak diperbolehkan melihat dunia.
SUPERIOR VS INFERIOR
Bicara
tentang kekerasan terhadap perempuan, ada gejala yang bisa
diindikasikan di Indonesia. Menurut Robertus Robet, Sosiolog dari
Universitas Indonesia, ada gejala arus balik dalam pemikiran dan praktik
politik kebijakan di Indonesia yang berpangkal pada antipati terhadap
pandangan modernisme. Gejala ini makin terlihat sejak reformasi ketika
berbagai macam gagasan muncul. Baik itu gagasan politik, kebebasan,
maupun liberalisme. Di saat ruang kebebasan itu terbuka, pandangan yang
sangat keras dalam menentang modernisme juga muncul. Yakni pandangan
yang menentang fakta bahwa perempuan itu memiliki gagasan. Walaupun
pandangan ini sudah usang, tapi masih terus didengungkan.
“Bibitnya
adalah politik agama yang menempati ruang kepolitikan, selain juga
karena kultural, basis dari relasi kekuasaan yang timpang antara
laki-laki dan perempuan tidak pernah hilang,” papar Robertus. Maksudnya,
sistem birokrasi politik Indonesia sejak masa kolonial itu didominasi
oleh kaum priyayi yang betul-betul feodal. Feodalisme memiliki cara dan
selera tersendiri terhadap perempuan. Ditambah lagi dengan masuknya
unsur-unsur primordialisme agama yang sangat menentang modernisme dalam
pandangan tentang manusia. Kombinasi keduanya ini menghasilkan sudut
pandang yang sangat patriarkat ketika melihat posisi perempuan.
Gabungan
antara feodalisme dengan konservatisme agama pada akhirnya melahirkan
sudut pandang konservatif yang kemudian membuat aturan-aturan bernuansa
diskriminatif terhadap perempuan. “Karena memang dalam sudut pandang
priyayi tubuh perempuan adalah object of pleasure yang bisa dia
kendalikan. Sedangkan dalam sudut pandang agama, tubuh perempuan adalah
sarang dosa yang harus ditundukkan. Jadi tidak pernah dilihat sebagai
subyek yang setara,” jelas Robertus.
Menurut Robertus, pemikiran
itulah yang membuat kebijakan, praktik sosial, dan percakapan di ruang
publik mengenai perempuan masih berlangsung timpang. Termasuk dalam
politik perkotaan. Hal ini bisa dilihat melalui kebijakan-kebijakan
maupun aturan-aturan yang dibuat dengan dalih melindungi perempuan.
Menurut
data Komnas Perempuan, sampai dengan tahun 2012 tercatat 282 kebijakan
diskriminatif atas nama agama dan moralitas yang merugikan perempuan.
Kebijakan tersebut tersebar di 100 kabupaten dan kota di 28 provinsi di
seluruh Indonesia. Di antaranya Perda larangan keluar malam bagi
perempuan di Tangerang.
Peraturan terbaru yang sempat membuat
heboh dan mengundang kontroversi adalah peraturan tentang larangan
perempuan naik motor dengan duduk mengangkang. Peraturan ini
diberlakukan awal tahun 2013 di Lhokseumawe.
Bagai kembali ke
masa lalu, perempuan kembali dihadapkan pada ironi. Seolah dilindungi
tetapi justru dibatasi ruang geraknya. Bisa dibilang di satu sisi
tindakan kekerasan terhadap perempuan menjadi perhatian tetapi di sisi
lain tidak ada yang menyadari bahwa itu bersumber dari relasi yang tidak
setara. Dengan kata lain, alih-alih menyalahkan pelaku tindak
kekerasan, malah tubuh perempuanlah yang disalahkan. Dalam sudut pandang
ini kekerasan sudah dimulai sejak dalam pikiran.
“Dominasi
patriarkal terhadap perempuan yang masih meresap dalam kebijakan publik,
serta dalam tradisi di berbagai macam organisasi dan di dalam pola
pengasuhan itu lebih banyak merugikan dan menghambat perkembangan orang,
dalam hal ini anak,” jelas Robertus.
Relasi sosial yang berlaku
selama ini menempatkan laki-laki sebagai superior sedangkan perempuan
inferior sehingga membuat laki-laki berpandangan demikian. Masalahnya
menurut Robertus, laki-laki berpandangan demikian karena posisi
kekuasaan yang dia peroleh dalam sejarah sedemikian kuat dalam memandang
perempuan.
Masalah dalam relasi antara laki-laki dan perempuan yang ada saat ini menurut Bagas adalah kesalahan dalam memaknai perbedaan.
Laki-laki
dan perempuan itu berbeda secara fisiologis. Seharusnya implikasi
perbedaannya adalah dari sisi fisiologis. Tetapi umumnya implikasi
pembedaan antara laki-laki dan perempuan keluar dari perbedaan
fisiologis antara keduanya. Misalnya, laki-laki mengandalkan logika,
perempuan mengandalkan perasaan.
“Apa hubungannya antara
fisiologis dengan kemampuan berpikir? Sepertinya tidak ada. Apa
hubungannya rahim dengan tidak bisa berpikir? Dengan tidak bisa
memimpin? Dengan tidak bisa naik motor dengan duduk mengangkang? Itu
kesalahan kategori. Kita membedakan dua hal dan kita mencoba mencari
implikasi perbedaan itu tetapi terlalu jauh,” jelas Bagus.
Apakah
itu alami atau karena pola asuh? Bagus mengatakan bahwa itu karena
dibiasakan. Bukan sesuatu yang natural tetapi budaya. Ia berpendapat
untuk mengubahnya bukan dengan menetapkan bagaimana seharusnya
laki-laki atau perempuan bersikap. Melainkan dengan melakukan perubahan
terhadap pola pikir masyarakat. Upaya ini membutuhkan waktu yang tidak
sebentar. “Tetapi kita memang harus memulainya, dari keluarga kecil kita
masing-masing. Kalau semua berjuang untuk tujuan yang sama, satu
generasi bisa berubah.”
No comments:
Post a Comment